MAKALAH FILSAFAT
“SEJARAH DAN
PERKEMBANGAN FILSAFAT
DARI MASA KE MASA”
Kata Pengantar
Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa, sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta
seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta
inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tema “Sejarah
dan Perkembangan Filsafat Dari Masa ke Masa” yang sederhana ini dapat
terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain
untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah Filsafat Ilmu serta
merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepadaBpk.Made Pramono selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu
serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana
penulis pun sadar bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput
dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan
Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa
penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak
sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang
dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi
seluruh mahasiswa-mahasiswi Universitas Negeri Surabaya. Amien ya Rabbal
‘alamin.
Wassalalam,
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………..…. i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….…..… iii
BAB I : Pendahuluan…………………………………………………………….…………… 1
A. Latar Belakang……………………………………………………………...................…. 1
B. Klasifikasi Filsafat……………………………………...................……………………… 2
1. Klasifikasi Filsafat Menurut Wilayah………………….................................…………… 3
2. Klasifikasi Filsafat Menurut Latar Belakang
Agama………........................................…. 5
BAB II : Pembahasan………………………………………………………………………… 9
A. Kajian Filsafat……………………………………………………………….................… 9
B. Munculnya Filsafat………………………………………………………....................… 11
C. Sejarah Perkembangan Awal Filsafat Dunia………………………................................ 12
BAB III : Penutup………………………………………………………...…………………. 21
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..……………… 23
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia
senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak
ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam
situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh
taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk
mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses
itu mencari tahu itu menghasilkankesadaran, yang disebut pencerahan. Jika
proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dankoheren, dan cara
mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang;
(1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”)
tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang
(2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu
di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang
khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu
tentang seluruh kenyataan (realitas).
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang
sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita
mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia
lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka
lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah
jawaban filsafati.
Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah
filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada
sejauh mungkin bagi manusia .Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat
pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala
kebenaran (Al-Kindi, 801 – 873 M).
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal
filsafat adalah ratio yang bertanya. Obyek materinya semua yang ada.
Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai
akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua mengartikan ilmu filsafat
sebagai ilmu tentag bertanya atau berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan
bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang. Thinking
about thinking.
Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan
tentang filsafat, sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret
apa itu filsafat dan apa kriteria suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya,
karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya, sejarah
dan perkembangan filsafat pun takkan pernah habis untuk dikupas. Tapi justru
karena itulah mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji demi mencari serta
memaknai segala esensi kehidupan.
B. Klasifikasi Filsafat
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan
pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya
sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi
filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut
daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi
menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama.
Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan
“Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi:
“Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.
1.) Klasifikasi Filsafat Menurut Wilayah
a. Filsafat Barat
‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari
secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan
mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun
pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan
rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan
Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi
mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh
negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan
Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah,
maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak
akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari
terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam
pada dinasti Abbasyah.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas
Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl
Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat di Indonesia sendiri yang
notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa Eropa-Belanda, dikenal adanya
pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Tema-tema tersebut
adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tema pertama adalah ontologi. Ontologi membahas tentang
masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris
(kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau
tata surya.
Tema kedua adalah epistemologi. Epistemologi adalah tema
yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti
“pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti
batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu tema yang
membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan
manusia. Nilai sosial .
b. Filsafat Timur
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama
berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang
pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya
hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa
dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia
Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama
beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao
Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
‘‘‘Filsafat Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat
yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini
sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Yunani.
Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau
orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan
daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan
tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar
terhadap karya-karya Yunani.
Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi
masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf
Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka
dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah:
Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh
disebut bergitu)dan Averroes.
2.) Klasifikasi Filsafat Menurut Latar Belakang Agama
a. Filsafat Islam
‘‘‘Filsafat Islam’’’ bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila
memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur
Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah
perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski
semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani
terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran
Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih
‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam justru Tuhan ‘sudah ditemukan.’
Pada mulanya filsafat berkembang di pesisir samudera
Mediterania bagian Timur pada abad ke-6 M yang ditandai dengan
pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia, dan
Tuhan. Dari sinilah lahirlah sains-sains besar, seperti fisika, etika,
matematika, dan metafisika yang menjadi batubara kebudayaan dunia.
Dari Asia Minor (Mediterania) bergerak menuju Athena yang
menjadi tanah air filsafat. Ketika Iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung
pada 332 SM, filsafat mulai merambah dunia timur, dan berpuncak pada 529 M.
b. Filsafat Kristen
‘‘‘Filsafat Kristen’’’ mulanya disusun oleh para bapa gereja
untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang
Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai
mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak
berkutat pada masalah ontologis[1] dan filsafat ketuhanan. Hampir semua
filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo
Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dan lain sebagainya.
Selain dua agama terbesar diatas, masih ada beberapa agama
lainya yang melahirkan pemahaman falsafi yang sampai sekarang masih eksis.
Misalnya Budha, Taoisme, dan lain sebagainya.
Buddha dalam bahasa Sansekerta berarti mereka yang
sadar, atau yang mencapai pencerahan sejati (Dari perkataan Sansekerta: untuk
mengetahui). Budha merupakan gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh
mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan
kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta Gautama yang
dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.
Sidharta adalah guru agama dan pendiri Agama Buddha
(dianggap “Buddha bagi waktu ini”). Dalam pandangan lainnya, ia merupakan
tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut Buddha tidak menganggap Siddharta Gautama sebagai
sang hyang Buddha pertama atau terakhir. Secara teknis, Buddha, seseorang yang
menemukan Dharma atau Dhamma (yang bermaksud: Kebenaran; perkara yang
sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia, dan jalan benar kepada
kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus (tujuan)
dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan.
Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddha[2] adalah serupa, tetapi
Samma-Sambuddha menekankan lebih kepada kualitas dan usaha dibandingkan dengan
dua lainnya.
Taoisme merupakan filsafat Laozi[3] dan Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi
bukan agama. Taoisme berasalkan dari kata “Dao” yang berarti tidak berbentuk,
tidak terlihat tetapi merupakan asas atau jalan atau cara kejadian kesemua
benda hidup dan benda-benda alam semesta dunia. Dao yang wujud dalam kesemua
benda hidup dan kebendaan adalah “De”. Gabungan Dao dengan De diperkenalkan
sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah. Taoisme bersifat tenang, tidak
berbalah, bersifat lembut seperti air, dan berabadi. Keabadian manusia adalah
apabila seseorang mencapai “Kesedaran Dao”. Penganut-penganut Taoisme
mempraktekan Dao untuk mencapai “Kesedaran Dao” dan juga mendewakan.
Taoisme juga memperkenalkan teori Yinyang. Yin dan
Yang dengan saintifiknya diterjemahkan sebagai negatif dan positif. Setiap
benda adalah dualisme, terdapat positif mesti adanya negatif; tidak bernegatif
dan tidak berpositif jadinya kosong, tidak ada apa-apa. Bahkan magnet, magnet
memiliki kutub positif dan negatif, kedua-dua sifat tidak bisa diasingkan;
tanpa positif, tidak akan wujud negatif, magnet tidak akan terjadi.
Gambar 1.4. Tse Laozi yang meninggalkan Chuguo dengan
koaknya Laozi meninggalkan dua karya yang berjudul De dan Dao (Judul
pertama adalah “De” dan kedua adalah “Dao” ) sebelum meninggalkan Chuguo. Kedua
kitab digabungkan dan diperkenalan sebagai Daode Jing yang memiliki 5000 huruf
Tionghua dalam 81 bab.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Filsafat
Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem
falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi
yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak
dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu
dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat
tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan
metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen
dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk
solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah
proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah
bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan
logika bahasa[4].
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang
filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster
(dalam Soeparmo, 1984), filsafat merupakan pengetahuan tentang
kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat
manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori
pengetahuan.
Beberapa filsuf mengajukan beberapa definitif pokok filsafat
seperti: Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta
lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir
dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan
pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya. Penyelidikan
kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang
diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Sesuatu yang berupaya untuk
membantu kita melihat apa yang kita katakan dan untuk mengatakan apa yang kita
lihat.
Kalau menurut tradisi filsafati yang diambil dari zaman
Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos
ialah Pytagoras (592-497 S.M.)[5], setelah dia membaca tulisan Herakleides
Pontikos (penganut ajaran Aristoteles) yang memakai kata sophia. Pytagoras
menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang
sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan
kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani;
philosophia (Φιλοσοφία) Dalam bahasa ini, kata tersebut merupakan kata
majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan
(sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda
juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya.
Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut
“filsuf”.
Dalam istilah Inggris, philosophy, yang berarti
filsafat, juga berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan
ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan. Menurut pengertiannya
yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti cinta kearifan. Namun,
cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia
tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian
pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang
Gie, 1999).
Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta
dalam hal makna (hakikat) dan nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup
dijangkau hanya dengan panca indera manusia sekalipun.Bidang filsafat
sangatlah luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh
pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal
mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan
tujuan hidupnya. Filsafat menggunakan bahan-bahan dasar deskriptif yang
disajikan bidang-bidang studi khusus dan melampaui deskripsi tersebut dengan
menyelidiki atau menanyakan sifat dasarnya, nila-nilainya dan
kemungkinannya.Tujuannya adalah pemahaman dan kebijaksanaan. Karena itulah
filsafat merupakan pendekatan yang menyeluruh terhadap kehidupan dan dunia.
Suatu bidang yang berhubungan erat dengan bidang-bidang pokok pengalaman
manusia.
B. Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya
ilmu pengetahuan serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang
diberikan oleh pemikiran keagamaan, peran mitologi yang sebelumnya mengikat
segala aspek pemikiran kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos
(rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba
memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan
sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam
semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun
diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di
balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu
keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam
artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam
semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan
bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam
semesta. Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani.
Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak
kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai
berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di
sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang
dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani
dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea
(Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah
lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
C. Sejarah Perkembangan Awal Filsafat Dunia
Meski istilah philosophia (Φιλοσοφία) pertama kali
dimunculkan oleh Pythagoras, namun orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar
filsuf ialah Thales (640-546 S.M.) dari Mileta (sekarang di pesisir barat Turki).
Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau
kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah
suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya,
unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Dalam buku History and Philosophy of Science karangan
L.W.H. Hull (1950), menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi
dalam beberapa periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada
periode itu.
a. Periode pertama, filsafat Yunani abad 6 SM
Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales,
Anaximandros, dan Anaximenes yang dianggap sebagai bapak-bapak fisafat dari
Mileta. Thales berpendapat bahwa sumber kehidupan adalah air. Makhluk yang
pertama kali hidup adalah ikan dan menusia yang pertama kali terlahir dari
perut ikan. Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang
bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya
dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sementara Anaximenes
dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara
tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk
dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Setelah mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki
pemikir-pemikir terkenal yang lebih berpengaruh lagi terhadap perkembangan
fisafat, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Phythagoras, Hypocrates, dan
lain sebagainya.
b. Periode Kedua, Periode setelah kelahiran Al
Masih (Abad 0-6 M)
Pada masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili
oleh para pastur dan para raja yang pro kepada gereja, dengan para ulama
filsafat. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja
membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri.
Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para
raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
c. Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad 6-13 M)
Pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad
kegelapan, ada juga yang menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan.
Masa keemasan atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan
Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku inilah diterbitkan dan
ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan
Hanbali yang ahli dalam hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika,
Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine.
Al-kindi ahli filsafat, Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga
menjadi kesatuan dan kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat,
mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik,
ekonomi, social dan kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet.
Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran, umat
Islam dalam keadaan porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat
pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani
seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 –
430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M)
dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar
filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan
Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas
menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti
Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi
bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan
ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya
kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di
Universitas Paris,tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles
dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof
Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar
dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM)
adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah
itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah
zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya
Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab
filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja
Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin
karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan
yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah
: Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad
Iqbal, dan
Ibnu Rushd.
Berbeda dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang
lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof
Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail
(Abubacer).
Ibnu baja dan Ibnu Tufail[6] merupakan pendukung rasionalisme
Aris-toteles. Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi sahabat.
Sedangkan Ibnu Rushd[7] yang lahir dan dibesarkan di
Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu
Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan
Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat
merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang
ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama,
sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk
menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis.Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu
Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First
Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan
kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang
bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd
dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya
karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan
pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah
pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat
dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis.Untuk mencapai kebenaran sejati
menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku
karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya
Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd
telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai
perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan
penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam
yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal
ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa
perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat
dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor
terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham
pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang
menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas,
Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya
banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya
Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang
diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak
lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.
d. Periode Keempat, Periode kebangkitan Eropa (Abad
12-17)
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah
mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu
pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi,
Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman
itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan
karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund
menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil
terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia. Dante menulis Divina
Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas
Paris menggunakan buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa
Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam,
berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman
kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan
dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal Legate pada
tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia,
ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick
mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas
menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada
tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan
terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin.Berkembangnya
ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas dari hasil terjemahan
Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah
berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de
mundo dan bagian pertama dari Kitab Anima.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk
menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna
mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan
pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid
dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di
Jazirah Arab.
Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk
mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini
putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada
tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan
Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13
hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin,
termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun
1328.
e. Periode Filsafat Modern (Abad 17-20 M)
Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen yang
berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga
awal abad kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran Yunani muncul,
alur pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas, empirisrme, dan Kritisme.
Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia islam. Masa ini juga memunculkan intelektual
Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina, ”The canon of medicine”,
Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme
berusaha menentang berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu itu.
Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa.
Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen Katolik
dan Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus
berlangsung Revolusiilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat. Pada masa ini
banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke
yang menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa
manusia bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup,
hak untuk merdeka, serta hak berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J
.Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contak.
Hal berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam
tertatih untuk bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang
gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada
masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia berusaha
mengikis habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat
Islam menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadis.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak
berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa,
tetapi dari diri manusia sendiri.Namun tentang aspek mana yang berperan ada
beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan
adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme,
sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin,
maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba
memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes
(1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode[8] tahun 1637 ia menegaskan perlunya
ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan
menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan
terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan
menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata
hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini
bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku
menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan
lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo
sum”, aku berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak
dapat disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku
mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”,
“clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang
harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam
menentukan kebenaran.
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang
percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume
(1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman
itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah
(yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi
merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa
seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada
batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui
persepsi indera kita.
AdapunKritisisme oleh Imanuel Kant (1724-1804) mencoba
mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant
berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah
bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal
kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar
kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan
konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak
mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”),
namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun,
menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia
tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan
waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera
kita.Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik.
Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam
manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak
terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh
pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka
aliran filsafat masa kini.
Begitulah pergulatan antar aliran filsafat Modern.
Rasionalist diwakili Descartes, Empirist diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant
saling menkritik satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang
sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita
mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia
lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka
lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah
jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan sebagai sebuah pohon yang
memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting pemahaman, serta buah solusi, maka
filsafat adalah tanah dasar tempat pohon tersebut berpijak dan tumbuh.
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal
filsafat adalah ratio yang bertanya. Sedang objek materinya ialah
semua yang ada yang bagi manusia perlu dipertanyakan hakikatnya. Maka menjadi
tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan
kebijaksanaan universal.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani
dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea
(Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah
lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih
bebas.
Dalam perkembanganya, filsafat Yunani sempat mengalami masa
pasang surut. Ketika peradaban Eropa harus berhadapan dengan otoritas Gereja
dan imperium Romawi yang bertindak tegas terhadap keberadaan filsafat di mana
dianggap mengancam kedudukannya sebagai penguasa ketika itu.
Filsafat Yunani kembali muncul pada masa kejayaan Islam
dinasti Abbasiyah sekitar awal abad 9 M. Tetapi di puncak kejayaannya, dunia
filsafat Islam mulai mengalami kemunduran ketika antara para kaum filsuf yang
diwakili oleh Ibnu Rusd dengan para kaum ulama oleh Al-Ghazali yang menganggap
filsafat dapat menjerumuskan manusia ke dalam Atheisme bergolak. Hal ini
setelah Ibnu Rusd sendiri menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan
terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli
atau mistikus agama.
Setelah abad ke-13, peradaban filsafat islam benar-benar
mengalami kejumudan setelah kaum ulama berhasil memenangkan perdebatan panjang
dengan kaum filosof. Kajian filsafat dilarang masuk kurikulum pendidikan.
Pemerintahan mempercayakan semua konsep berfikir kepada para ulama dan ahli
tafsir agama. Beriringan dengan itu, di Eropa, demam filsafat sedang menjamur.
Banyak buku-buku karangan filosof muslim yang diterjemahkan kedalam bahasa
latin. Ini sekaligus menunjukkan bahwa setelah pihak gereja berkuasa pada
masanya dan sebelum peradaban Islam mulai menerjemahkan teks-teks aristoteles
dan lain sebagainya oleh Al Kindhi, di Eropa benar-benar tidak ditemukan lagi
buku-buku filsafat hasil peradaban Yunani.
Entah kebetulan atau tidak, ketika filsafat di dunia islam
bisa dikatakan telah usai dan berpindah ke eropa, peradaban islam pun mengalami
kemunduran sementara di eropa sendiri mengalami masa yang disebut sebagai abad
Renaissance atau abad pencerahan, pada sekitar abad ke-15 M.
Tapi tidak demikian halnya dalam komunitas gereja. Periode
ini juga menghantarkan dunia kristen menjadi terbelah. Doktrin para pendeta
katolik terus mendapatkan protes dari kaum Protestan.
Adapun para filsuf zaman modern setelah masa aufklarung,
abad ke-17 M, menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau
ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri.
Para filsuf modern yang tercatat dalam sejarah ialah Descartes, Karl Marx,
Nietsche, JJ Rosseau, Dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
www.muslimphilosophy.com
id.wikipedia.org
www.cidcm.umd.edu
blog.wordpress.com
philosopi Mingguan Indonesia
Harian KOMPAS Rabu, 02 Mar 2005 Halaman: 46
kognItar.wordpres.org
[1] Ontologi adalah cabang pemikiran yang
membahas tentang masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan
secara empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk
hidup, atau tata surya.
[2] Tiga jenis golongan Buddha adalah:
Samma-Sambuddha yang mendapat Kesadaran penuh tanpa guru,
hanya dengan usaha sendiri
Pacceka-Buddha atau Pratyeka-Buddha yang menyerupai Samma-Sambuddha,
tetapi senantiasa diam dan menyimpan pencapaian Dharma pada diri sendiri.
Savaka-Buddha yang merupakan Arahat (pengikut kesadaran),
tetapi mencapai tahap Kesadaran dengan mendengar Dhamma
[3] Pada waktu keruntuhan Dinasti Zhou,
Laozi meletak jawatan dan meninggalkan negerinya dengan koaknya. Ketika beliau
tiba di Kastam Hangu (函谷关), Guan Yixi (关尹喜)
meminta beliau meninggalkan filsafat dalam bentuk tulisan. Atas permintaan Guan
Yixi, Laozi meninggalkan dua karya yang berjudul De dan Dao (Judul pertama
adalah “De” dan kedua adalah “Dao” ) sebelum meninggalkan Chuguo. Kedua-dua kitab
digabungkan dan diperkenalan sebagai Daode Jing yang kepunyaan 5000 huruf
Tionghua dalam 81 bab.
[4] Logika merupakan sebuah ilmu yang
sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filsafat
menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping
nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity
‘ketertarikan’.
[5] Pythagoras ialah seorang ahli
matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang
menetapkan a2 + b2 = c2.
[6] Menurut Ibnu Tufail, manusia dapat
mencapai kebenaran sejati dengan menggunakan petunjuk akal dan petunjuk wahyu. Pendapat
ini dituangkan dengan baik dalam cerita Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang menceritakan
bagaimana Hayy yang tinggal pada suatu pulau terpencil sendirian tanpa manusia
lain dapat menemukan kebenaran sejati melalui petunjuk akal, kemudian bertemu
dengan Absal yang memperoleh kebenaran sejati dengan petunjuk wahyu.
[7] Ibnu Rushd telah menyusun 3 komentar
mengenai Aristoteles, yaitu : komentar besar, komentar menengah dan komentar
kecil. Ketiga komentar tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa : Arab,
Latin dan Yahudi. Dalam komentar besar, Ibnu Rushd menuliskan setiap kata
dalam Stagirite karya Aristoteles dengan Bahasa Arab dan memberikan komentar
pada bagian akhir. Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut
Aritoteles sebagai Magister Digit, sedang pada komentar kecil filsafat yang
diulas murni pandangan Ibnu Rushd.
[8] “aku meragukan segalanya, kecuali aku
ragu”, Kalimat yang menjadi trademark Descartes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar