Materi Kuliah Stitistik
Rabu, 21 November 2012
KOMPETENSI PEDAGOGIK
I. Pendahuluan
Mutu pendidikan yang baik dapat
mendorong terciptanya masyarakat yang berkualitas, kreatif dan produktif. Salah
satu ciri dari mutu pendidikan yang baik adalah terciptanya proses pembelajaran
yang baik pula (mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi). Sebagai
dampaknya Guru yang merupakan peran sentral dalam proses pembelajaran sudah
sewajarnya dituntut untuk lebih professional dalam menjalankan fungsinya.
Selain hal tersebut, perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju
juga menuntut profesi guru menyesuaikan diri dengan perubahan dan kebutuhan
masyarakat.
Seiring dengan hal diatas
komitmen pemerintah untuk menciptakan pendidikan yang lebih bermutu dan
berkualitas ditandai dengan lahirnya UU No 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, UU No 14 Th 2005 tentang UU Guru dan Dosen, dan PP No 19 Th 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam UU dan PP tersebut dinyatakan bahwa
pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan kompetensi sesuai dengan
bidangnya.
II. Pembahasan
A. Kompetensi Guru
Pentingnya guru professional yang
memenuhi standar kualifikasi diatur dalam pasal 8 Undang-undang No.14 tahun
2005 tentang Guru Dan Dosen (UUGD) yang menyebutkan bahwa Guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Selanjutnya menurut Pasal 1 ayat
(1) UUGD tersebut, kompetensi yang dimaksud memiliki arti sebagai seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati,
dikuasai, dan diaktualisasikan oleh Guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan.
Lebih dalam lagi pada pasal 10
ayat (1) UUGD dan Pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa
kompetensi guru yang dimaksud meliputi:
a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial.
B. Kompetensi Pedagogik
Dalam Undang-undang No.14 tahun
2005 tentang Guru Dan Dosen pada bab penjelasan pasal 10 ayat (1) menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik.
Lebih lanjut pada Bab Penjelasan
Pasal 28 ayat 3 PP 19tahun 2005 tentang SNP yang dimaksud dengan kompetensi
pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi:
Pemahaman terhadap peserta didik,
Perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran,
Evaluasi hasil belajar, dan
Pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Berikut akan dijabarkan mengenai
dimensi-dimensi dari kompetensi pedagogik tersebut:
1. Pemahaman terhadap peserta didik
Secara umum pemahaman peserta
didik dapat berarti kemampuan guru dalam memahami kondisi siswa (baik fisik
maupun mental) dalam proses pembelajaran. Sehingga dengan begitu diharapkan
dapat tercipta interaksi yang baik antara guru dan peserta didik dalam rangka
menciptakan kegiatan belajar mengajar yang kondusif. Dalam arti guru mengetahui
seluk beluk peserta didik yang diajar, menentukan metode pengajaran, bahan dan
alat yang tepat sehingga memungkinkan peserta didik untuk dapat mengembangkan
potensi yang dimilikinya melalui interaksi dan pengalaman belajar.
Mulyasa (2008:79) menyebutkan
sedikitnya ada empat hal yang harus dipahami guru dari peserta didiknya, yaitu
tingkat kecerdasan, kreativitas, cacat fisik dan perkembangan kognitif.
a. Tingkat Kecerdasan
Dalam bukunya Psikologi
Pendidikan, Alisuf Sabri menyimpulkan arti dari kecerdasan (intelegensi)
sebagai berikut:
kemampuan umum mental individu yang
tampak dalam caranya bertindak atau berbuat atau dalam memecahkan masalah atau
dalam melaksanakan tugas.
suatu kemampuan mental individu
yang ditunjukan melalui kualitas kecepatan, ketepatan dan keberhasilannya dalam
bertindak/berbuat atau memecahkan masalah yang dihadapi.
Dari pengertian diatas dapat
dikemukakan bahwa selain ditentukan berdasakan hasil tes IQ, ternyata tinggi
atau rendahnya tingkat kecerdasan seseorang dapat dilihat dari kecepatan,
ketepatan dan keberhasilan seseorang dalam bertindak atau dalam memecahkan
masalah.
Adanya perbedaan IQ atau tingkat
kecerdasan tiap peserta didik sudah barang tentu menunjukkan adanya perbedaaan
kemampuan pula. Perbedaaan kemampuan ini sangat mempengaruhi peserta didik
dalam menerima dan menyerap pelajaran, menyelesaikan tugas-tugas, kualitas
prestasi hasil belajar, maupun aktifitas lain. Perbedaan-perbedaan seperti
inilah yang perlu disadari oleh seorang guru. Sehingga dalam menjalankan
fungsinya seorang guru dapat melayani perbedaan tersebut dengan sikap yang
tepat.
Diantaranya dengan memberikan
kegiatan belajar yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Hingga
hasilnya setiap peserta didik diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan segala
masalah yang dihadapi sesuai dengan tingkat kemampuannya.
b. Kreativitas
Seperti halnya pemahaman terhadap
tingkat kecerdasan peserta didik, guru juga diharapkan dapat menciptakan
kondisi pembelajaran yang memberikan kesempatan peserta didik untuk dapat
mengembangkan potensi dan kreativitasnya. Berdasarkan penelitiannya, Gibbs
(Mulyana 2008:88) menyimpulkan bahwa kreativitas dapat dikembangkan dengan
memberikan kepercayaaan, komunikasi yang bebas, pengarahan diri dan pengawasan
yang tidak terlalu ketat. Apa yang dikemukakan Gibbs diatas tentunya juga harus
didukung dengan kreativitas guru itu sendiri dalam menggunakan
pendekatan/metode pengajaran.
Dalam rangka mengembangkan dan
meningkatkan kreativitas peserta didik Bahri dan Zain (2006:160) menyebutkan
ada tiga aspek keterampilan guru dalam mengadakan variasi dalam proses belajar
mengajar, yaitu variasi dalam gaya mengajar, dalam menggunakan media/bahan
pengajaran serta variasi dalam interaksi antara guru dan siswa.
Salah satu contoh metode
pengajaran yang kini sering digunakan di banyak sekolah adalah metode inquiry
(inkuiri), yang memberikan kesempatan luas bagi peserta didik untuk
mengeksplorasi sesuatu sesuai dengan persepsi dan kreativitas peserta didik.
c. Cacat fisik
Dalam bagian ini guru dituntut
untuk dapat memahami kondisi fisik peserta didik yang memiliki keterbatasan
atau kelainan (cacat). Dalam rangka membantu perkembangan pribadi mereka, sikap
dan layanan yang berbeda dapat dilakukan sesuai dengan kondidi fisik yang
dialami peserta didik. Misalkan jenis alat bantu/media yang berbeda bagi
penyandang cacat tuna netra, mengatur posisi duduk bagi tuna rungu ataupun
perlakuan khusus seperti membantu duduk bagi peserta didik yang mengalami
lumpuh kaki.
d. Pertumbuhan dan perkembangan kognitif
Pada dasarnya proses belajar
mengajar bertujuan menciptakan lingkungan dan suasana yang dapat menimbulkan
perubahan (pertumbuhan dan perkembangan) struktur kognitif siswa. Dalam ranah
kognitif ini terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang yang
terendah sampai jenjang paling tinggi, yaitu:
1. Pengetahuan/hafalan/ingatan.
2. Pemahaman.
3. Penerapan.
4. Analisis.
5. Sintesis.
6. Penilaian.
Pertumbuhan dan perkembangan
aspek kognitif tersebut merupakan kolaborasi antara potensi bawan dan
lingkungan. Salah satu lingkungan yang mempengaruhi struktur kognitif siswa
adalah pada saat terjadinya interaksi belajar mengajar. Proses pertumbuhan dan
perkembangan kognitif siswa yang menuju kematangan inilah yang harus terus
dipantau dan dipahami guru. Sehingga guru benar-benar dapat memahami tingkat
kesulitan yang dihadapi dengan menerapkan pembelajaran yang efektif sebagai
solusinya.
e. Perancangan pembelajaran
Perancangan pembelajaran
merupakan kegiatan awal guru dalam rangka mengidentifikasi dan
menginventarisasi segala komponen dasar yang akan digunakan pada saat pelaksanaan
pembelajaran. Sedikitnya ada tiga kegiatan yang mendukung perancangan
pembelajaran ini, yaitu identifikasi kebutuhan, perumusan kompetensi dasar, dan
penyusunan program pembelajaran.
1. Identifikasi kebutuhan
Tahap ini merupakan tahap dimana
guru melibatkan peserta didik dalam rangka mengidentifikasi kebutuhan belajar,
sumber-sumber yang mendukung kegiatan belajar, hambatan yang mungkin dihadapi
serta hal lainnya. Identifikasi kebutuhan bertujuan antara lain untuk
melibatkan dan memotivasi peserta didik agar kegiatan belajar dirasakan sebagai
bagian dari kehidupan dan mereka merasa memilikinya. Berdasarkan identifikasi
terhadap kebutuhan belajar tersebut kemudian akan dirumuskan kompetensi yang
diharapkan dapat dicapai peserta didik.
2. Perumusan kompetensi dasar
Kompetensi merupakan komponen
utama yang harus dirumuskan dalam pembelajaran. Kompetensi yang jelas akan
memberi petunjuk yang jelas pula terhadap materi yang harus dipelajari,
penetapan metode dan media pembelajaran serta dalam memberi petunjuk penilaian.
Dengan dirumuskannya kompetensi yang akan dicapai peserta didik, diharapkan
penilaian pencapaian kompetensi yang kelak akan dilakukan bersifat objektif,
berdasarkan kinerja peserta didik, dengan mengacu pada penguasaan mereka
terhadap suatu kompetensi sebagai hasil belajar
3. Penyusunan program pembelajaran.
Kegiatan ini merupakan tahap
selanjutnya sebelum menyusun Rencana Pelaksanan Pembelajaran (RPP). RPP itu
sendiri adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan
diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas. Berdasarkan RPP inilah seorang
guru diharapkan bisa menerapkan pembelajaran secara terprogram. Supaya RPP yang
disusun bisa efektif dan efisien maka perlu dilakukan kegiatan yang mendukung
berikut :
- Melakukan pemetaaan kompetensi
per unit.
- Melakukan analisis alokasi
waktu, dan
- Menyusun program tahunan dan
semester.
4. Pelaksanaan pembelajaran
Pembelajaran
pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan,
sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi
tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor eksternal
maupun faktor internal.Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah
mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku
pembentukan kompetensi peserta didik. Umumnya pembelajaran menyangkut tiga hal:
pre tes, proses, dan post tes , sebagai berikut:
1. Pre tes (tes awal)
Pre tes
memegang peranan penting dalam proses pembelajaran, yang berfungsi antara lain:
Untuk
menyiapkan peserta didik dalam proses belajar, dengan pre tes maka pikiran
mereka terfokus pada soal yang harus dikerjakan.
Untuk
mengetahui kemajuan peserta didik sehubungan dengan proses pembelajaran yang
dilakukan, dengan cara membandingkan hasil pre tes dengan post tes.
Untuk
mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki peserta didik mengenai kompetensi
dasar yang akan dijadikan topik dalam proses pembelajaran.
2. Proses
Proses adalah
sebagai kegiatan inti dari pelaksanaan pembelajaran dan pembentukan kompetensi
peserta didik. Proses pembelajaran dan pembentukan kompetensi dikatakan efektif
apabila seluruh pesera didik terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun
sosial. Kualitas pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik dapat
dilihat dari segi proses dan hasil. Dari segi proses, pembelajaran dan
pembentukan kompetensi dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya
atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara fisik,
mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran disamping menunjukkan gairah
belajar yang tinggi, nafsu belajar yang besar dan tumbuhnya rasa percaya diri.
Sedangkan dari
segi hasil, proses pembelajaran dan pembentukan kompetensi dan prilaku yang
positif pada diri peserta didik seluruhnya setidak-tidaknya sebagian besar
(75%). Proses pembelajaran dan pembentukan kompetensi dikatakan berhasil
apabila masukan merata, menghasilkan output yang banyak dan bermutu tinggi,
serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat dan pembangunan.
3. Post Test
Pada umumnya
pelaksanaan pembelajaran diakhiri dengan post test, post test memiliki banyak
kegunaan terutama dalam melihat keberhasilan pembelajaran. Fungsi post test
antara lain :
Untuk
mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah
ditentukan, baik secara individu maupun kelompok.
Untuk
mengetahui kompetensi dasar dan tujuan-tujuan yang dapat dikuasai anak didik
dan tujuan-tujuan yang belum dikuasai anak didik. Bagi anak yang belum
menguasai tujuan pembelajaran perlu diberikan pengulangan (remedial teaching).
Untuk
mengetahui peserta didik yang perlu mengikuti kegiatan remedial maupun yang
perlu diberikan pengayaan.
Sebagai bahan
acuan untuk melakukan perbaikan proses pembelajaran dan pembentukan kompetensi
peserta didik yang telah dilaksanakan.
f. Evaluasi hasil belajar
Evaluasi hasil belajar dilakukan
untuk mengetahui perubahan dan pembentukan kompetensi peserta didik , yang
dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar, dsb.
g. Pengembangan peserta didik
Pengembangan peserta didik dapat
dilakukan oleh guru melalui berbagai cara, antara lain kegiatan
ekstrakurikuler, pengayaan dan remedial, serta bimbingan konseling (BK).
III. PENUTUP
Demikianlah akhir dari makalah
ini semoga dari apa yang diuraikan diatas kita mendapatkan sedikit banyak
pengetahuan, pencerahan ataupun keinginan untuk dapat menerapkan kompetensi
pedagogik dalam rangka menjadi seorang guru yang qualified.
ALIRAN PENDIDIKAN
Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbeda antara saru daerah dengan
daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang dianggap
sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Karenanya
banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara pada munculnya
berbagai aliran pendidikan.
a. Aliran Empiris
Tokoh aliran Empirisme adalah
John Lock, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704. Teorinya dikenal
dengan Tabulae rasae (meja lilin), yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke
dunia seperti kertas putih yang bersih. Kertas putih akan mempunyai corak dan
tulisan yang digores oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orangtua (faktor
keturunan) tidak dipentingkan. Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan
dengan lingkungan (sosial, alam, dan budaya). Pengaruh empiris yang diperoleh
dari lingkungan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurut aliran
ini, pendidik sebagai faktor luar memegang peranan sangat penting, sebab pendidik
menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan
se¬bagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap,
serta watak anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Misalnya: Suatu keluarga yang
kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis. Segala alat diberikan dan
pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat melukis pada anak
itu tidak ada. Akibatnya dalam diri anak terjadi konflik, pendidikan mengalami
kesukaran dan hasilnya tidak optimal.
Contoh lain, ketika dua anak
kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu
dari mereka dididik di desa oleh keluarga petani golongan miskin, yang satu
dididik di lingkungan keluarga kaya yang hidup di kota dan disekolahkan di
sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.
Kelemahan aliran ini adalah hanya
mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir
dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan
tidak mendukung.
b. Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah
Schopenhauer. la adalah filosof Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran
ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan
sejak la¬hir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan
perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang
di¬bawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar
ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki
bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak
memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai
dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang
dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi
sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan
tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia,
yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta
kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada
yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada
pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal
dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang
mungkin melebihi ke-mampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada
setengah kemampuan orangtuanya.
Coba simak cerita tentang anak
manusia yang hidup di bawah asuhan serigala. la bernama Robinson Crussoe.
Crussoe sejak bayi hidup di tengah hutan rimba belantara yang ganas. la tetap
hidup dan ber¬kembang atas bantuan air susu serigala sebagai induknya. Serigala
itu memberi Crussoe makanan se-suai selera serigala sampai dewasa. Akhirnya,
Crussoe mempunyai gaya hidup, bicara, ungkapan bahasa, dan watak seperti
serigala, padahal dia adalah anak manusia. Kenyataan ini pun membantah teori
Nativisme, sebab gambaran dalam cerita Robinson Crussoe itu telah membuktikan
bahwa lingkungan dan didikan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan anak.
c. Aliran Natularisme
Tokoh aliran ini adalah J.J.
Rousseau. la adalah filosof Prancis yang hidup tahun 1712-1778. Natu¬ralisme
mempunyai pandangan bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan
baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan,
sehingga aliran Naturalisme sering disebut Negativisme.
Naturalisme memiliki tiga prinsip
tentang proses pembelajaran (M. Arifin dan Aminuddin R., 1992: 9), yaitu:
1)
Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri.
Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan
perkembangan di dalam dirinya secara alami.
2)
Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang
menyenangkan. Pendidik berperan se¬bagai fasilitator atau narasumber yang
menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak didik ke arah
pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan
dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar terletak pada diri anak didik
sendiri.
3)
Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan
minat dan bakat dengan menyedia¬kan lingkungan belajar yang berorientasi kepada
pola belajar anak didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk
menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan perhatiannya.
Dengan demikian, aliran
Naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang bersifat
paedosentris; artinya, faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat
kegiatan proses belajar-mengajar.
d. Aliran Konvergensi
Tokoh aliran Konvergensi adalah
William Stem. la seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1939.
Aliran Konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari aliran Nativisme dan
Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki
bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi
oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan
penting.
Anak yang mempunyai pembawaan
baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang baik akan menjadi semakin
baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik
tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri.
Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak
secara optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang dibawa anak.
Dengan demikian, aliran
Konvergensi menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan
atau bakat dan lingkungan. Hanya saja, William Stem tidak menerangkan seberapa
besar perbandingan pengaruh kedua faktor tersebut. Sampai sekarang pengaruh
dari kedua faktor tersebut belum bisa ditetapkan.
e. Aliran Progresivisme
Tokoh aliran Progresivisme adalah
John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan
yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan,
ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya.
Aliran ini memandang bahwa
peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukkan dengan fakta
bahwa manusia mempunyai kelebihan jika dibanding makhluk lain. Manusia memiliki
sifat dinamis dan kreatif yang didukung oleh ke-cerdasannya sebagai bekal
menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama
pendidik, yang secara teori mengerti karakter peserta didiknya.
Peserta didik tidak hanya
dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di
dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan
rohani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya, peserta didik diberi
kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam
kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana belajar
timbul di dalam maupun di luar sekolah.
f. Aliran Esensialisme
Aliran Esensialisme bersumber
dari filsafat idealisme dan realisme. Sumbangan yang diberikan keduanya
bersifat eklektik. Artinya, dua aliran tersebut bertemu sebagai pendukung Esensialisme
yang berpendapat bahwa pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang dapat
mendatangkan kestabilan. Artinya, nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan yang
menjadi pedoman hidup, sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang
dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif
selama empat abad yang lalu, yaitu zaman Renaisans.
Adapun pandangan tentang
pendidikan dari tokoh pendidikan Renaisans yang pertama adalah Johan Amos
Cornenius (1592-1670), yaitu agar segala sesuatu diajarkan melalui indra,
karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Frieddrich
Herbart (1776-1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan
jiwa seseorang dengan kebajikan Tuhan. Artinya, perlu ada penyesuaian dengan
hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart
disebut sebagai pengajaran.
Tokoh ketiga adalah William T.
Harris (1835-1909) yang berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan
terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan
ke-satuan spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang
telah turun-temurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
Dari pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa aliran Esensialisme menghendaki agar landasan pendidikan
adalah nilai-nilai esensial, yaitu yang telah teruji oleh waktu, bersifat
menuntun, dan telah turun-temurun dari zaman ke zaman sejak zaman Re¬naisans.
g. Aliran Perenialisme
Tokoh aliran Perenialisme adalah
Plato, Aris-toteles, dan Thomas Aquino. Perenialisme memandang bahwa
kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar
pendidikan sekarang. Pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah belajar
untuk berpikir. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan untuk berlatih
berpikir sejak dini.
Pada awalnya, peserta didik
diberi kecakapan-kecakapan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.
Selanjutnya perlu dilatih pula kemampuan yang lebih tinggi seperti berlogika,
retorika, dan bahasa.
h. Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali
oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia. la dipandang sebagai
cikal-bakal lahirnya Konstruksionisme. la mengatakan bahwa Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan (Paul Suparno, 1997:
24). Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang
dapat mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia
hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico,
pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan
tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean
Piaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan bahwa
pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan
lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang.
Menurut Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman
dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat
terbentuk pengertian baru (Paul Supamo, 1997: 33).
Piaget juga berpendapat bahwa
perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur
kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang
secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Suwardi, 2004:
24).
Kesimpulannya, aliran ini
menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi kognitif
dalam diri seseorang; melalui pengalaman yang diterima lewat pancaindra, yaitu
indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa. Dengan demikian,
aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang
ke-pada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa
dipindahkan, sehingga jika pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu,
perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika
pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.
Langganan:
Postingan (Atom)