a. Aliran Empiris
Tokoh aliran Empirisme adalah
John Lock, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704. Teorinya dikenal
dengan Tabulae rasae (meja lilin), yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke
dunia seperti kertas putih yang bersih. Kertas putih akan mempunyai corak dan
tulisan yang digores oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orangtua (faktor
keturunan) tidak dipentingkan. Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan
dengan lingkungan (sosial, alam, dan budaya). Pengaruh empiris yang diperoleh
dari lingkungan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurut aliran
ini, pendidik sebagai faktor luar memegang peranan sangat penting, sebab pendidik
menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan
se¬bagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap,
serta watak anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Misalnya: Suatu keluarga yang
kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis. Segala alat diberikan dan
pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat melukis pada anak
itu tidak ada. Akibatnya dalam diri anak terjadi konflik, pendidikan mengalami
kesukaran dan hasilnya tidak optimal.
Contoh lain, ketika dua anak
kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu
dari mereka dididik di desa oleh keluarga petani golongan miskin, yang satu
dididik di lingkungan keluarga kaya yang hidup di kota dan disekolahkan di
sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.
Kelemahan aliran ini adalah hanya
mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir
dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan
tidak mendukung.
b. Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah
Schopenhauer. la adalah filosof Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran
ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan
sejak la¬hir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan
perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang
di¬bawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar
ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki
bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak
memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai
dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang
dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi
sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan
tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia,
yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta
kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada
yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada
pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal
dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang
mungkin melebihi ke-mampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada
setengah kemampuan orangtuanya.
Coba simak cerita tentang anak
manusia yang hidup di bawah asuhan serigala. la bernama Robinson Crussoe.
Crussoe sejak bayi hidup di tengah hutan rimba belantara yang ganas. la tetap
hidup dan ber¬kembang atas bantuan air susu serigala sebagai induknya. Serigala
itu memberi Crussoe makanan se-suai selera serigala sampai dewasa. Akhirnya,
Crussoe mempunyai gaya hidup, bicara, ungkapan bahasa, dan watak seperti
serigala, padahal dia adalah anak manusia. Kenyataan ini pun membantah teori
Nativisme, sebab gambaran dalam cerita Robinson Crussoe itu telah membuktikan
bahwa lingkungan dan didikan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan anak.
c. Aliran Natularisme
Tokoh aliran ini adalah J.J.
Rousseau. la adalah filosof Prancis yang hidup tahun 1712-1778. Natu¬ralisme
mempunyai pandangan bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan
baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan,
sehingga aliran Naturalisme sering disebut Negativisme.
Naturalisme memiliki tiga prinsip
tentang proses pembelajaran (M. Arifin dan Aminuddin R., 1992: 9), yaitu:
1)
Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri.
Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan
perkembangan di dalam dirinya secara alami.
2)
Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang
menyenangkan. Pendidik berperan se¬bagai fasilitator atau narasumber yang
menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak didik ke arah
pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan
dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar terletak pada diri anak didik
sendiri.
3)
Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan
minat dan bakat dengan menyedia¬kan lingkungan belajar yang berorientasi kepada
pola belajar anak didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk
menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan perhatiannya.
Dengan demikian, aliran
Naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang bersifat
paedosentris; artinya, faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat
kegiatan proses belajar-mengajar.
d. Aliran Konvergensi
Tokoh aliran Konvergensi adalah
William Stem. la seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1939.
Aliran Konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari aliran Nativisme dan
Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki
bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi
oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan
penting.
Anak yang mempunyai pembawaan
baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang baik akan menjadi semakin
baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik
tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri.
Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak
secara optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang dibawa anak.
Dengan demikian, aliran
Konvergensi menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan
atau bakat dan lingkungan. Hanya saja, William Stem tidak menerangkan seberapa
besar perbandingan pengaruh kedua faktor tersebut. Sampai sekarang pengaruh
dari kedua faktor tersebut belum bisa ditetapkan.
e. Aliran Progresivisme
Tokoh aliran Progresivisme adalah
John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan
yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan,
ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya.
Aliran ini memandang bahwa
peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukkan dengan fakta
bahwa manusia mempunyai kelebihan jika dibanding makhluk lain. Manusia memiliki
sifat dinamis dan kreatif yang didukung oleh ke-cerdasannya sebagai bekal
menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama
pendidik, yang secara teori mengerti karakter peserta didiknya.
Peserta didik tidak hanya
dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di
dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan
rohani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya, peserta didik diberi
kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam
kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana belajar
timbul di dalam maupun di luar sekolah.
f. Aliran Esensialisme
Aliran Esensialisme bersumber
dari filsafat idealisme dan realisme. Sumbangan yang diberikan keduanya
bersifat eklektik. Artinya, dua aliran tersebut bertemu sebagai pendukung Esensialisme
yang berpendapat bahwa pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang dapat
mendatangkan kestabilan. Artinya, nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan yang
menjadi pedoman hidup, sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang
dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif
selama empat abad yang lalu, yaitu zaman Renaisans.
Adapun pandangan tentang
pendidikan dari tokoh pendidikan Renaisans yang pertama adalah Johan Amos
Cornenius (1592-1670), yaitu agar segala sesuatu diajarkan melalui indra,
karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Frieddrich
Herbart (1776-1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan
jiwa seseorang dengan kebajikan Tuhan. Artinya, perlu ada penyesuaian dengan
hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart
disebut sebagai pengajaran.
Tokoh ketiga adalah William T.
Harris (1835-1909) yang berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan
terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan
ke-satuan spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang
telah turun-temurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
Dari pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa aliran Esensialisme menghendaki agar landasan pendidikan
adalah nilai-nilai esensial, yaitu yang telah teruji oleh waktu, bersifat
menuntun, dan telah turun-temurun dari zaman ke zaman sejak zaman Re¬naisans.
g. Aliran Perenialisme
Tokoh aliran Perenialisme adalah
Plato, Aris-toteles, dan Thomas Aquino. Perenialisme memandang bahwa
kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar
pendidikan sekarang. Pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah belajar
untuk berpikir. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan untuk berlatih
berpikir sejak dini.
Pada awalnya, peserta didik
diberi kecakapan-kecakapan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.
Selanjutnya perlu dilatih pula kemampuan yang lebih tinggi seperti berlogika,
retorika, dan bahasa.
h. Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali
oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia. la dipandang sebagai
cikal-bakal lahirnya Konstruksionisme. la mengatakan bahwa Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan (Paul Suparno, 1997:
24). Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang
dapat mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia
hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico,
pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan
tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean
Piaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan bahwa
pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan
lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang.
Menurut Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman
dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat
terbentuk pengertian baru (Paul Supamo, 1997: 33).
Piaget juga berpendapat bahwa
perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur
kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang
secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Suwardi, 2004:
24).
Kesimpulannya, aliran ini
menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi kognitif
dalam diri seseorang; melalui pengalaman yang diterima lewat pancaindra, yaitu
indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa. Dengan demikian,
aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang
ke-pada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa
dipindahkan, sehingga jika pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu,
perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika
pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar