Ada yang mengatakan bahwa antara
ilmu, filsafat dan agama memiliki hubungan. Namun demikian, tidak menafikan
terhadap pandangan bahwa satu sama lain merupakan ‘sesuatu’ yang terpisah; di
mana ilmu lebih bersifat empiris, filsafat lebih bersifat ide dan
agama lebih bersifat keyakinan. Menurut Muhammad Iqbal dalamRecontruction
of Religious Thought in Islam sebagaimana dikutip Asif Iqbal Khan (2002),
“Agama bukan hanya usaha untuk mencapai kesempurnaan, bukan pula moralitas yang
tersentuh emosi”. Bagi Iqbal, agama dalam bentuk yang lebih modern, letaknya
lebih tinggi dibandingkan puisi. Agama bergerak dari individu ke masyarakat.
Dalam geraknya menuju pada realitas penting yang berlawanan dengan keterbatasan
manusia. Agama memperbesar klaimnya dan memegang prospek yang merupakan visi
langsung realitas. (Asif Iqbal Khan, Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran
Iqbal, 2002: 15)
Menurut Asif (2002: 16),
sekalipun diekspresikan dalam jargon filsafat kontemporer, tetapi mempunyai
tujuan yang sama dengan para ilmuwan Islam pada abad pertengahan yaitu
menyeimbangkan agama di satu pihak dengan ilmu pengetahuan modern dan filsafat
utama sebagaimana tertuang dalam pendahuluan buku rekonstruksinya, yaitu “untuk
merekonstruksi filsafat religious Islam sehubungan dengan tradisi filsafat
Islam dan perkembangan lebih lanjut berbagai bidang ilmu pengetahuan manusia”.
Iqbal menegaskan dengan optimis, “waktunya sudah dekat bagi agama dan ilmu
pengetahuan untuk membentuk suatu harmoni yang tidak saling mencurigai satu
sama lain”.
Untuk lebih adilnya dalam menilai
hubungan ketiganya, patut dicermati pandangan Endang Saifuddin Anshari (Ilmu,
Filsafat dan Agama, 1979) yang menyebutkan di samping adanya titik persamaan,
juga adanya titik perbedaan dan titik singgung.
Baik ilmu maupun filsafat atau
agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama), yaitu
kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari
kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri
pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula agama,
dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi
yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan. (Endang Saifuddin
Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979: 169)
Masih menurutnya, baik ilmu
maupun filsafat, keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal,
budi, rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama
bersumberkan wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan
penyelidikan (riset, research), pengalaman (empirik) dan percobaan. Filsafat
menghampiri kebenaran dengan cara mengembarakan atau mengelanakan akal budi
secara radikal dan integral serta universal tidak merasa
terikat dengan ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai
dengan saat ini), sedangkan kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan
yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental).
Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat bersifat nisbi (relatif),
sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu
yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna. Baik ilmu
maupun filsafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau tidak
percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman.
Adapun titik singgung, adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab
oleh masing-masingnya, namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada
perkara yang dengan keterbatasan ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka
keduanya tidak bisa menjawabnya. Demikian pula dengan agama, sekalipun agama
banyak menjawab berbagai persoalan, namun ada persoalan-persoalan manusia yang
tidak dapat dijawabnya. Sementara akal budi, mungkin dapat menjawabnya.
Hemat penulis, ketiga-tiganya
memiliki hubungan dan tidak perlu dibenturkan satu sama lain selama diyakini
bahwa ilmu manusia memiliki keterbatasan. Demikian pula dengan filsafat,
selama difahami sebagai proses berfikir bukan sebagai penentu. Adapun
agama dapat diyakini, selama dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang dapat
dipertangung jawabkan. Rabbanâ Zidnâ ‘Ilman war Zuqnâ Fahman
… Allâhumma Faqqihnâ fi al-Dîn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar