PENDAHULUAN
Dalam kehidupan ini kita tidak terlepas akan adanya ilmu, filsafat dan agama.
Seperti apa kinerja ilmu, bagaimana hubungan antara ilmu dan filsafat. Begitu
pula agama yang kita pandang sebagai keyakinan yang bersumberkan pada wahyu
Tuhan, sejauh manakah kalau dikaitkan pada pandangan filsafat, bagaimana
hubungan agama dan filsafat. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kiranya menarik
sekali untuk kita bahas, maka dari itu penulis akan mencoba mengulas sedikit
tentang Ilmu, Filsafat, dan agama beserta hubungan-hubungan atau keterkaitan
yang ada padanya.
Maka sebelum membahas lebih rinci mengenai hubungan antara ilmu, filsafat dan
agama, perlu kiranya terlebih dahulu kita membahas sepintas apa yang dinamakan
ilmu, filsafat maupun agama. Yang lebih jelasnya akan diterangkan di bawah ini.
PEMBAHASAN
1. Ilmu dan Filsafat
Ilmu merupakan pengetahuan yang dikumpulkan manusia melalui penggunaan akalnya
yang sistematis, obyektif dan disusun menjadi bentuk pola yang teratur.
Berangkat dari persoalan tersebut, dalam mencoba menjelaskan hubungan filsafat
dan ilmu, terlebih dahulu kita perlu mengenal relevansi dan perbedaan keduanya.
Namun sebelum masuk pada inti pembahasan, perlu kiranya kita mengetahui
bagaimana sejarah kuno dalam melahirkan peradapan yang tinggi, sehingga membawa
pertumbuhan dan perkembangan ilmu seperti sekarang ini.
Secara umum, orang mengakui bahwa di jaman kuno orang Yunani adalah merupakan
orang-orang yang terkemuka sebagai bangsa yang ditakdirkan mempunyai akal yang
jernih. Memang pada umumnya sejarah kemanusiaan telah mencapai kebudayaan yang
tinggi di beberapa tempat. Misalnya, India, Tiongkok, Persia, Mesir dan lain
sebagainya.
Bangsa-bangsa tersebut telah mengalami masa yang gemilang dimana kekayaan
material dan kekuasaan merupakan faktor yang menguntungkan untuk menanamkan
organisasi sosial dan politik, mengembangkan arsitek dan kesuasteraan yang
tinggi. Ternyata jiwa ilmiah pada bangsa Yunani mampu berkembang dan melepaskan
diri dengan bebas setelah mereka menemukan nilai kekuasaan dari akal manusia.
Keistimewaan orang Yunani inilah yang merupakan salah satu dari pada peradaban
dunia, karena disitu kemenangan jiwa telah ditetapkan.
Bagi orang Yunani, ilmu adalah keterangan akal rasional dari segala sesuatu.
Dunia sebenarnya adalah suatu kosmos kesatuaan yang teratur dan aturan ini
sifatnya dapat dipahami oleh akal manusia. Aturan ini adalah kausalitas,
sehingga keterangan dari semua kejadian itu dapat dicari pada asal usul
kejadian tersebut. Tiga dasar ini yaitu kosmos, rasional dan kausalitas telah
menguasai ilmu orang Yunani.
Penyelidikan orang Yunani yang ilmiah ini, didasarkan atas fakta-fakta dan atas
usaha-usaha penyelidikan tentang urutan-urutan sebab dan akibat sampai pada
yang terahir. Dari hal tersebut di atas maka ilmu menurut Ir. Poedjawijatna
adalah pengetahuan yang sadar dan menurut kebenaran yang bermetodhos, bersistem
dan berlaku universil. Maka dalam hal ini batas objek ilmu hanya sampai pada
pengalaman. Di luar pengalaman ilmu tidak mampu untuk menjangkaunya, karena
memang bukan wewenang ilmu untuk bertindak diluar pengalaman. Oleh karena, bisa
jadi bagi ilmu, menganggap tidak ada apa-apa (kosong) di luar alam semesta ini,
tetapi kenyataan yang sebenarnya tidaklah demikian. Inilah
pengalaman-pengalaman yang hanya bisa dijawab oleh filsafat.
Dari uraian di atas kita dapat mengetahui perbedaan ilmu dan filsafat serta hubungan
satu sama lainnya sebagai hubungan mutlak tunggal. Filsafat nampak jelas pada
bagian-bagian yang disebut ilmu. Sedangkan teori ilmu tidak boleh disebut
filsafat. Bagaimana kita bisa mengenal ilmu kalau kita tidak mengenal filsafat
dalam arti yang luas dan universal. Ilmu hanya bisa dilahirkan dengan
berfilsafat melalui penalaran yang mendalam dari pengalaman-pengalaman yang
ditemukannya.
Seperti obyek ilmu yang bersandar pada pengalaman, filsafatpun dalam
menjalankan tugasnya juga bersandarkan pula pada fakta pengalaman, sehingga
harus juga memelihara dan memperhitungkan dengan ilmu. Ini berarti bahwa
filsafat itu mengikuti perkembangan ilmu-ilmu. Untuk menjawab persoalan seperti
hal tersebut dibutuhkan penyelidikan oleh filsafat itu sendiri. Dan tidak bisa
tuntas dengan uraian yang singkat. Filsafat tidak secara mutak tergantung pada
ilmu, bahkan bisa mencari kejelasan sendiri tanpai memakai hasil-hasil ilmu.
Dengan adanya kemajuan filsafat, ilmu juga mendapat keuntungan yang sangat
istimewa. Dapat diharapkan bahwa seorang ilmuan akan memperlihatkan dan
membedakannya antara kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari teknik dan
logika ilmiah dengan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari uraian filsafat.
Kritik pada pengetahuan yang bersifat filosofis juga menerangi kerja ilmuan
dengan menunjukkan sifat batas serta arti segala kemungkinan-kemungkinan.
Dalam hal hubungan antara filsafat dan ilmu seperti yang diuraikan di atas, Ir
poedjawijatna menyatakan bahwa filsafat dan ilmu bertemu pada objek materia dan
yang membedakan adalah objek formalnya. Batasnya jadi terang, akan tetapi dalam
praktek sering juga ada kekacauan. Hal ini tidak mengherankan sebab yang
diselidiki objeknya sama, sedang yang menyelidiki juga sama yaitu manusia.
Manusia yang ingin tau tidak selalu sadar akan batas tugas dan batas bidang
ilmu yang menjadi wilayahnya masing-masing. Memang sebaliknya harus diakui,
bahwa batas ini dalam teoripun tidak selalu jelas, atau harus ada kesediaan
dari pihak ilmu maupun filsafat untuk tidak mencampurkan tugas dan wilayahnya
masing-masing.
Walaupun demikian antara ilmu dan filsafat ada juga hubungannya. Filsafat
memang dalam penyelidikannya dimulai dari apa yang dialami manusia, karena
takkan ada pengetahuan kalau tidak bersentuhan dengan panca indra. Sedangkan
ilmu yang hendak menelaah hasil panca indra itu tidak mungkin untuk mengambil
keputusan dan menjalankan fikiran tanpa mempergunakan dalil dan hukum pikiran
yang dialaminya. Bahkan ilmu dengan amat tenang menerima sebagai suatu
kebenaran.
Sebaliknya filsafatpun memerlukan data dari ilmu jika misalnya ahli filsafat
kemanusiaan hendak menyelidiki manusia serta hendak menentukan siapa manusia
itu? Ia memang harus mengetahui segala tindakan manusia. Dalam hal ini ilmu
yang bernama psikologi akan menolong filsafat melalui hasil penyelidikannya.
Kesimpulan filsafat kemanusiaan akan amat pincang dan mungkin jauh dari
kebenaran jika tidak menghiraukan hasil psikologi.
2. Agama dan Filsafat
Sementara itu, hubungan filsafat dan agama seringakali diperdebatkan antara
satu sama lainya, bahkan kadang-kadang terjadi clash antara ahli filsafat dan
ulama. Apabila kita mengetahui bahwa kemampuan mengenal kita adalah bukan
merupakan satu-satunya jalan untuk mendapatkan kebenaran tetapi disamping itu
ada kerja yang lain untuk mendapatkan kebenaran.
Orang islam dan juga yang beragama lain memegangi kepercayaan yang kuat
terhadap wahyu dari Tuhan yang disampaikan oleh rasul-rasul-Nya. Dengan
demikian, orang islam tidak hanya mempunyai sumber alamiah saja tetapi juga sumber
di luar alam bagi pengetahuannya. Maka sejak dahulu kala, telah berabad-abad
manusia mempersoalkan hubungan yang mempertalikan kepercayaan dengan
pengetahuan yang wajar.
Agama menamakan kepercayaan, keyakinan yang disebut aqidah (teologi) dengan
dasar kebenarannya adalah wahyu tuhan yang terkandung dalam kitab suci-Nya.
Tujuan teologi dengan uraian yang metodis berusaha mengolah isi kepercayaan itu
menjadi suatu kebulatan yang bersistematik ilmiah. Di dalam menyusun sistem
teologi ini, bermacam-macam ilmu alamiah dipakai sebagai alat bantu seperti,
sejarah, psikologi ,filsafat dan pengetahuan lainnya, tetapi semua ini harus
berjalan di bawah sorotan kepercayaan tanpa merusak metafisis dari pada wahyu
itu sendiri walaupun sedikit.
Dapatl dikatakan bahwa apa yang disebut iman dalam suatu agama tak lain adalah
kepercayaan tentang Tuhan atau yang disebut "ada". Di situlah
letaknya bahwa manusia harus beriman, tetapi di sisi lain manusia juga berfikir
tentang imannya. Iman sering disalah tafsirkan oleh sebagian manusia, baik di
kalangan ulama-ulama atau filosof-filosof sendiri. Kesalahan penafsiran ini
nampak pada adanya perbedaan antara agama dan filsafat. Bahwa agama pada
dasarnya adalah iman, sedang filsafat dasarnya adalah akal pikiran, atau agama
berangkat dari wahyu dan filsafat berangkat dari usaha manusia.
Kekayaan yang terkandung di dalam wahyu itu memuat kebenaran-kebenaran yang
terletak di luar akal manusia seperti sifat tuhan. Tentang kejadian alam yang
selalu merupakan sebuah misteri bagi manusia yang tidak paham agama. Tatapi
wahyu juga mengandung kebenaran-kebenaran yang intinya dapat dicapai oleh akal
pikiran manusia dengan kekuatannya sendiri, seperti hukum alam, tentang
kemungkinan adanya Tuhan dan sebagainya.
Dalam persinggungan filsafat dengan teologi (aqidah) dalam menyinggung
kebenaran, filsafat adalah pembantu pengungkap kekayaan wahyu. Dari hal inilah
maka muncul bagaimana persoalan antara filsafat dengan wahyu, Dalam hal
hubungan antara keduanya adalah:
1. Di dalam urut-urutan kedudukan dalam humanitas maka teologi menduduki tempat
yang leblh tinggi dari filsafat, baik dikenakan obyek pembehasannya yang
bersifat gaib atas alam, maupun kerena dasar formal yang menjadi jaminan
kebenarannya yaitu firman Tuhan yang tidak mungkin salah. Berdasarkan hal
tersebut maka kesimpulanya adalah filsafat tidak pernah bertentangan dengan
kebenaran yang di wahyukan atau manentang kesimpulan yang didasarkan atas
fundamental teologi. Kerena sesuatu itu tidak bisa sekaligus benar atau salah.
Jadi teologi merupakan norma-norma negatif bagi filsafat dalam arti bahwa
teologi tidak menerima dalil-dalil yang mengandung kemungkinan terhadap
kebenaran yang telah dibuktikan secara teologis. Sementara itu, A hanafi, M.A
dalam bukunya pengantar filsafat islam menyatakan pandangan al-Farabi bahwa
tujuan filsafat dan agama bagi al-Farabi adalah sama. Yaitu mengetahui semua
wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang diyakini dan ditunjukkan
oleh golongan tertentu, sedang agama memakai cara Iqna'i (pemuasan perasaan) dan
kiasan-kiasan serta gambaran yang ditujukan kepada semua orang, bangsa dan
negara. Prof Ir Poedjawijatna dalam membicarakan kebenaran mengatakan sebagai
berikut:
Kebenaran sesuatu dalam agama tergantung kepada diwahyukan atau tidaknya. Yang
diwahyukan Tuhan haruslah dipercayai, oleh karena itu agama disebut
kepercayaan. Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah kepercayaan,
akan tetapi penyelidikan sendiri. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi
wahyu, tetapi tidak mendasarkan pennyelidikannya atas wahyu. Mungkin ada
beberapa hal yang masuk kewilayah agama yang juga diselidiki filsafat.
Selanjutnya dikatakan bahwa antara filsafat dan agama pada pada prinsipnya
tidak ada pertentangan, karena kalau kedua-duanya memang mempunyai kebenaran,
maka kebenaran itu tentulah satu dan tidak mungkin berbeda. Tak mungkin sesuatu
itu pada prinsipnya benar dan tidak benar. Pada akhirnya secara tegas dikatakan
bahwa lapangan agama dan filsafat dalam beberapa hal mungkin sama, akan tetapi
pada dasarnya amat berlainan. filsafat berdasarkan fikiran, sedangakan agama
berdasarkan atas wahyu.
2. Kita tidak dapat mengatakan bahwa kepercayaan agama itu telah memberi
pengaruh yang positif terhadap filsafat. Bukanlah filsafat telah mengalami
perubahan dasar sehingga benar-benar dinamakan agamis, dan dengan begitu dia
bukan filsafat yang sebenarnya lagi.bdi tinjau dari sejarah, agama islam,
yahudi maupun kristen yang mengajarkan tentang hidup telah memberi pengaruh
yang dalam pada pikiran-pikiran filsafat terutama terhadap pikiran-pikiran
mereka yang menganut agama tersebut.
Memang kepercayaan agama dari luar dapat memberi arah kepada seseorang filosof
dengan mengemukakan suatu obyek (tujuan) yang akan dicapai seperti menyusun
suatu pembuktian tentang adanya Tuhan, mencari perbedaan antar alam, pribadi
dan sebagainya. Hendaknya kita perhatikan bahwa suatu kebenaran baru masuk
formal dalam pandangan filsafat apabila dimengerti dengan segala realitas atau
bila kita mampu mencapai suatu proses discursive (berpisah dari satu objek ke
objek yang lain)
Apabila kita umpamanya meyakinkan bahwa Tuhan itu ada maka dalil ini hanya akan
diambil dari filsafat dengan ukuran dimana kita membayangkan akan
membuktikannya dengan alat-alat ilmiah, jika tidak begini keadaannya maka
kebenaran dalil itu bagaimanapun juga dasarnya adalah tidak filosofis. Karena
itu, maka arah positif yang dapat diberikan oleh teologi pada filsafat
bagaimanapun harganya adalah tetap hanya merupakan suatu keadaan yang membawa
filsafat kedalam suatu suasana. Kepercayaan merupakan sesuatu yang berjalan di
muka filsafat tetapi bediri di luar apa yang merupakan aktifitas filsafat yang
sebenarnya.
Seperti yang diberitahukan oleh agama-agama samawi maka kita berada pada neveau
(tingakatan) yang lebih tinggi dari tingkatan akal murni. apabila teologi itu
pada kenyataannya besifat agama maka filsafat tidaklah demikian tetapi tetap
bersifat rasional dan kemanusiaan murni. Tetapi kebijaksanaan Tuhan tidaklah
merusak aturan alam, bahkan mengangkatnya.
Kebijaksanaan Tuhan berbeda dengan aturan alam tetapi ia menerima aktivitas
alam, bahkan memperkayanya. Perkembangan seorang muslim umpamanya menghendaki
agar dia menggunakan kekuatan alam secara formal dan dalam kenyataannya memang
berbeda dengan kekuasaan Tuhan. Seseorang yang beragama islam akan dapat
mengembangkan kemampuannya secara wajar dan harmonis. Dengan begitu akan lebih
sesuai dengan kehidupan keagamaannya.
Demikinlah perbedaan atau relevansi ilmu dengan filsafat dan filsafat dengan
agama, yang kesemuanya mempunyai titik ketersinggungan satu sama lainnya,
bahkan kesemuanya saling memperkuat. Hanya saja kesalahpahaman terhadap
ketiganya disebabkan oleh adanya wawasan yang sempit di antara, ilmuan, filosuf
dan ulama-ulama.
KESIMPULAN
1. Persamaan
Ilmu, filsafat dan agama mempunyai persamaan tujuan, yaitu mencari kebenaran.
2. Perbedaan
Ilmu, filsafat, dan agama menpumyai perbedaan dalam sumber, cara memperoleh
kebenaran, dan sifat kebenarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar